Menjaga Napas, Gelontorkan Insentif

 

Maret 2020, Covid-19 telah melanda hampir ke seluruh negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini telah membuat kegiatan perekonomian melambat. Cina sebagai negara pertama yang terjangkit virus tersebut telah menutup perbatasannya.

“Cina tutup, padahal kita mendapatkan bahan baku dari Cina. Akibatnya pengusaha mencari alternatif ke negara lain, kalau gak dapat, ya otomatis bisnis gak jalan,” cerita Yon Arsal, yang dua bulan sebelumnya baru saja dilantik sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak.

Tentu bukan hanya perusahaan saja yang mengalami kesulitan, ini berdampak masif langsung ke masyarakat. Kondisi tersebut baru awal pandemi, selain kekurangan bahan baku untuk diolah, lebih parah lagi Indonesia juga kekurangan bahan penunjang fasilitas kesehatan, seperti alat pelindung diri, masker, penyanitasi tangan, dan alat penunjang lainnya.

Biasanya menemukan masker dan penyanitasi tangan tidaklah sulit, tinggal ke apotek, supermarket terdekat, atau bahkan pedagang asongan di stasiun pun banyak menjajakannya. Namun, saat itu berbeda, susah sekali menemukan semua itu. Orang berlombalomba mendapatkannya.

Permintaan yang meroket dalam waktu singkat ini tidak diimbangi dengan ketersediaan penawaran yang mencukupi. Alhasil harganya pun melambung tinggi, jauh dari masuk akal.

Teringat tawaran sopir ojol kala itu, “Mbak-mbak udah punya masker belum? Saya ada nih masker N95, Rp100.000 aja. Kalau mau beli satu box Rp500.000 isi lima, lagi susah loh sekarang. Coba aja Mbak ke pramuka sendiri, engga bakal dapet tuh harga segitu,” ujar si sopir yang langsung mengagetkan penumpang.

Masker tersebut hanya bisa digunakan sekali, tetapi dipercaya ampuh menangkal virus dan partikel kecil lainnya. Harga yang ditawarkan lebih dari dua kali lipat harga normal. Kalau mau mencari sendiri memang langka, bahkan di pasar daring harga satu dus bisa mencapai jutaan.

Melihat kondisi seperti ini, pemerintah pun tak tinggal diam. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan insentif dan fasilitas pajak guna mengantisipasi dampak yang lebih besar. Insentif pajak sendiri di Indonesia bukanlah hal baru.

Insentif pajak merupakan salah satu instrumen yang sering digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menarik investasi ke negaranya, termasuk Indonesia.

“Kalau kita baca teorinya, insentif pajak ini ada yang berlaku secara umum dan parsial atau sektoral. Nah, dari berbagai literatur itu, insentif pajak yang berlaku umum ini lebih efektif dibandingkan insentif pajak yang berlaku secara parsial atau sektoral,” ujar lelaki kelahiran Bukittinggi 50 tahun lalu itu.

Yon mencontohkan, insentif pajak yang berlaku umum misalnya pemberian diskon pajak 50% bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar, termasuk kebijakan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau UMKM yang diberikan tarif khusus setengah persen.

Untuk insentif sektoral misalnya tax holiday dan tax allowence. Salah satu contohnya tax holiday berupa pengurangan PPh badan 356 Cerita di Balik Reformasi Perpajakan hingga 100% untuk waktu tertentu bagi investor yang menanamkan modalnya dalam jumlah tertentu pada industri pionir, sedangkan tax allowance berupa pemberian fasilitas PPh bagi investor yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha tertentu atau di daerah-daerah tertentu.

“Tujuannya untuk menarik investasi dan mendorong perekonomian daerah untuk berkembang,” tandasnya.

Baru Kali Ini

Selama masa pandemi keadaan begitu dinamis. Kalau di awal pandemi isu yang muncul adalah sisi penawaran, seperti Indonesia kesulitan bahan baku dari luar negeri. Sebulan kemudian, permasalahan ekonomi telah bergeser ke sisi permintaaan, seperti kemampuan daya beli masyarakat menurun, atau sektor yang terdampak pun semakin meluas.

Pemerintah berupaya keras menangani permasalahan yang timbul. Berulang kali revisi peraturan dilakukan dengan menyesuaikan kondisi di lapangan. Insentif yang keluar di masa-masa awal pandemi yaitu, PMK Nomor 28/PMK.03/2020.

Insentif yang diberikan meliputi pembebasan pajak untuk vaksin, obat-obatan, alat pelindung diri (APD), dan barang-barang lain yang dinyatakan guna keperluan penanganan Covid-19. Rumah sakit, instansi pemerintah/badan, dan pihak lain yang ditunjuk pun dibebaskan dari pengenaan pajak.

Di sisi lain, pemerintah juga membantu industri yang pertama kali terdampak Covid-19 agar produksinya tetap berjalan, dengan mengeluarkan PMK Nomor 23/PMK.03/2020. Karyawan yang bekerja pada 440 lapangan usaha yang tertuang pada peraturan ini boleh bernapas lega. Pasalnya, penghasilan mereka “tidak terganggu”. Mereka akan terima utuh tanpa dipotong pajak.

“Dengan penghasilan tidak dipotong PPh (Pasal) 21, karyawankaryawan dari perusahaan yang terdampak tadi akan mempunyai tambahan untuk belanja dan meningkatkan permintaan barang dan jasa,” tutur Yon. Pengusaha pun dapat terjaga kasnya melalui Cerita di Balik Reformasi Perpajakan 357 pembebasan pajak impor, pengurangan angsuran pajak PPh Pasal 25, hingga restitusi PPN dipercepat.

Selama ini, sektor UMKM menjadi penopang ekonomi nasional. Bahkan saat krisis tahun 1998, sektor ini dianggap paling kuat. Namun, sekarang UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Untuk itulah pemerintah berinisiatif menjaga napas UMKM dengan menanggung pajak penghasilannya melalui PMK Nomor 44/PMK.03/2020.

 Tak terhindarkan, perusahaan-perusahaan pun mengalami penurunan penjualan, distribusi yang terhambat, hingga kesulitan bahan baku sehingga mereka perlu mengalihkan pembelian bahan baku ke negara lain.

Padahal, mengubah rantai pembelian bahan baku ini tidaklah mudah. Ada perusahaan yang sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan suatu negara, tetapi karena tutup, negara itu tidak dapat mengirim bahan bakunya lagi. Belum lagi permasalahan tentang kecocokan bahan baku dengan mesin produksinya dan masalah kontrak baru.

Oleh karena itu, melalui beleid ini pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 22 Impor, pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30%, dan restitusi dipercepat. Jumlah sektor yang dapat memanfaatkan insentif pun diperluas, semula 440 KLU (Kelompok Lapangan Usaha) menjadi 1062 KLU.

Tak ketinggalan, pemerintah pun memberikan insentif kepada masyarakat yang sudah bergotong-royong membuka ruang penggalangan dana untuk penanggulangan Covid-19. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020, pemerintah memasukkan sumbangan untuk penanggulangan Covid-19 ini sebagai pengurang penghasilan. Begitu pula dengan tenaga medis yang mendapat penugasan, mereka juga menerima gaji utuh tanpa dipotong pajak. Aturan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas pasar saham.

Memasuki Agustus 2020, kondisi perekonomian tak kunjung stabil, tingkat produksi dan penjualan masih rendah. Pemerintah 358 Cerita di Balik Reformasi Perpajakan kembali memutar akal, yang kemudian menurunkan insentif melalui PMK Nomor 110/PMK.03/2020. Pelaku usaha dapat menikmati penurunan angsuran pajak hingga penghujung tahun.

Pemerintah juga mendukung peningkatan penyediaan air (irigasi) sebagai proyek padat karya yang menjadi kebutuhan penting bagi sektor pertanian. Selain itu, pemerintah juga memperluas industri yang berhak mendapatkan insentif ini menjadi 1.189 KLU, sehingga penghasilan karyawannya pun tetap utuh.

Masih menyoal insentif, Direktorat Jenderal Bea Cukai pun berlomba-lomba memberikan fasilitas kepabeanan yang mencakup pembebasan bea masuk dan cukai dalam rangka impor barang dan jasa kesehatan yang tekait Covid-19 melalui PMK Nomor 34/ PMK.04/2020. “Terdapat 73 jenis barang yang diberikan fasilitas tersebut yang terlampir dalam PMK ini,” ucap Heru Pambudi, Direktur Jenderal Pajak Bea Cukai saat itu.

Namun, seiring dengan meningkatnya kemampuan pengusaha lokal dalam memproduksi masker, peraturan pun dievaluasi dan disesuaikan menjadi 45 barang, mengecualikan masker. “Saya jarang melihat PMK kita diubah sedemikian dinamis dan cepat. Perubahan yang cepat, kita respons juga sangat cepat. Di situlah insentif terus berkembang untuk pergerakan ekonomi, pemulihan ekonomi nasional dan mengatasi masalah-masalah kesehatan,” ujar Yon.

Bagai Makan Buah Simalakama

Bagai makan buah simalakama. Peribahasa ini serasa tepat untuk menggambarkan pilihan sulit yang harus dilakukan DJP. DJP harus menelan pil pahit, melaksanakan kebijakan insentif pajak yang tentu saja akan menggerus penerimaan negara. Melupakan visinya sejenak untuk menjadi penghimpun penerimaan negara.

Jika dilihat dari sisi DJP, kebijakan insentif pajak ini sesuatu yang dilematis. “Kalau pegawai dulu ditanya tanggapan mengenai insentif, pasti jawabannya enggak setuju,” ucap Yon. “Insentif itu bukan DJP banget! Dua sisi yang berjauhan. Dengan Cerita di Balik Reformasi Perpajakan 359 memberikan insentif, shortfall otomatis akan nongol, juga tambahan belanja. Kalau kita mau ngejar penerimaan berarti ya gak akan ada insentif,” lanjutnya.

Ibaratnya, kebijakan insentif pajak dan penerimaan pajak merupakan dua sisi yang saling berlawanan. “Kalau ingin penerimaan pajak maksimal, harusnya tidak ada insentif,” tegasnya.

Namun, fungsi pajak tak hanya sebagai sumber pendapatan negara saja. Pajak juga memiliki fungsi mengatur. Dengan fungsi ini, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Misalnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan jaga jarak akibat pandemi Covid-19 yang diambil pemerintah menimbulkan gangguan pada rantai dunia usaha. Kebijakan ini menyebabkan berbagai dampak pada perekonomian Indonesia. Ia menimbulkan guncangan pada sektor-sektor dalam perekonomian.

“Insentif itu bukan DJP banget! Dua sisi yang berjauhan. Dengan memberikan insentif, shortfall otomatis akan nongol, juga tambahan belanja. Kalau kita mau ngejar penerimaan berarti ya gak akan ada insentif.”

Badan Pusat Statistik menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan IV-2020 terhadap triwulan IV-2019 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,19% (y-on-y).

Sementara angka pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 secara kumulatif mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07% (c-to-c) dibandingkan tahun 2019. Angka ini diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp15.434,2 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp56,9 juta atau US$3.911,7.

Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada lapangan usaha transportasi dan pergudangan sebesar 15,04%. Sementara itu, dari sisi pengeluaran hampir semua komponen terkontraksi. Komponen ekspor barang dan jasa menjadi komponen dengan kontraksi terdalam sebesar 7,70%. Sedangkan impor barang dan jasa yang merupakan faktor pengurang terkontraksi sebesar 14,71%.

Ini artinya, perekonomian Indonesia tidak sedang baik-baik saja, meski persentase penurunannya tak separah negara-negara di dunia. Untuk itu, pajak menjalankan fungsinya membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tidak Melulu Soal Uang

Sekarang pajak tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah. Tidak melulu tentang bagaimana mengumpulkan uang untuk mengisi kas negara. Pajak harus dipandang sebagai instrumen fiskal secara komprehensif. Kembali ke tujuan awal pemberian insentif, mendorong investasi.

Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), ada beberapa hal yang selama ini menjadi penghambat investasi, yaitu sebesar 32,6% karena persoalan perizinan, 17,3% karena masalah pengadaan lahan, dan 15,2% karena regulasi atau kebijakan. “Meskipun bukan kendala utama dalam berinvestasi, pajak selalu muncul di urutan keempat atau kelima. Pajak masih dianggap salah satu faktor yang menentukan pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia,” tutur Yon.

Oleh karena itu, lelaki yang sebelumnya menjabat Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan, DJP itu mengajak bahasan pajak dibawa ke dalam ruang yang lebih luas. Pajak akan menjadi instrumen yang mendorong tercapainya berbagai tujuan tadi. Meski diakuinya, mungkin dalam jangka pendek penerimaan pajak akan minus, tetapi dalam jangka panjang pemerintah akan untung.

Yon menambahkan, “Pajak harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan bernegara. Caranya dengan mengubah sudut pandang Cerita di Balik Reformasi Perpajakan 361 kita terhadap masalah pajak ini secara lebih luas. Kita melihat sebuah sistem ekonomi dan sistem fiskal itu sebagai satu kesatuan yang komprehensif. Pajak harus dipandang sebagai instrumen tercapainya cita-cita pembangunan Indonesia. Salah satunya dengan memberikan insentif pajak.”

Darussalam dalam tulisannya berjudul “Peran Pajak di Masa Pandemik” memandang pajak di masa pandemi dengan kaca yang lebih besar, sebagai fungsi mengatur (regulerend) yang hadir bahu membahu bersama semua pihak dan masyarakat Indonesia dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah akibat Covid-19 ini. Di situlah pajak menegaskan jati dirinya sebagai urat nadi Indonesia.

Hal itu selaras dengan yang dikatakan Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat periode 2016—2021, “Saat seperti inilah di mana kegiatan masyarakat dan omzet bisnis menurun, kami ingin mengurangi beban pajak yang biasanya dibayar normal.”

Ringkas kata, pemerintah ingin hadir mengulurkan tangan ke masyarakat. “Kita memosisikan WP (wajib pajak) sebagai kawan, kita ingin melindungi WP. Jika tidak ada insentif, WP tertekan, collapse, kita malah gak punya WP lagi,” ucap Yoga.

Yang Penting Mendengar

Sepanjang usia kemerdekaan, Indonesia mengalami banyak pasang surut. Krisis moneter 1997—1998, bencana alam dahsyat seperti tsunami di Aceh yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang, gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain. Indonesia juga pernah menghadapi bencana nonalam berupa pandemi akibat virus dari luar negeri, yaitu SARS, MERS, maupun flu burung. Ini belum termasuk konflik-konflik horizontal maupun ancaman teroris. Namun, Covid-19 adalah petaka global yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Saat awal pandemi melanda, bisa dirasakan semua orang kebingungan. Nilai saham juga anjlok. Pemerintah dipaksa buru- 362 Cerita di Balik Reformasi Perpajakan buru mencari kebijakan. “No body knows, kita mencontoh negara lain, negara lain pun, saya yakin, ada yang mencontoh kita, namun, belum ada satu negara pun yang pernah mengalami pandemi (Covid-19),” ungkap Yon yang saat itu diberikan amanah untuk mendesain kebijakan insentif di kelompok kerja penerimaan.

Dari pandemi ini, Indonesia banyak belajar menghadapi kondisi yang dinamis, yang tak pernah terpikir akan terjadi sebelumnya. “Bagaimana kita berada di lingkungan yang sama-sama gak tahu, sama-sama buta, di sinilah saya merasa betul kalau bagian terpenting itu ternyata mendengarkan. Mendengarkan dari stakeholder,” ucap Yon.

Pemangku kepentingan yang dimaksud Yon adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bea Cukai, dan BKF. Yang disebut pertama banyak berdiskusi dengan asosiasi dan industri. Kementerian itu memberikan masukan kepada DJP dalam menentukan sektor-sektor yang berhak menerima insentif.

Walaupun pada awalnya Indonesia juga menyontek dengan negara lain, tidak semua peraturan dapat diterapkan di Indonesia. Indonesia memiliki sistem perpajakan yang unik sehingga hasil tolok ukur dengan negara lain tak serta merta bisa disalin tempel.

“Misalnya PPh final sektor Konstruksi, kan tidak mengangsur PPh 25. Bagaimana caranya memberikan penundaan angsuran PPh 25? Untuk sektor konstruksi, maka pendekatan yang digunakan dengaan menurunkan tarifnya,” katanya.

Contoh lain, mengenai penerapan tarif PPN. Di Indonesia, perubahan tarif PPN harus melalui perubahan UU yang setiap prosesnya melibatkan DPR. “Jadi kalau bisa kita adopsi dengan cepat, biasanya karena regulasinya relatif sama. Jika model pemajakannya berbeda, kita tidak bisa adopsi. Kita melihat benar-benar sesuai kebutuhan dan masukan dari berbagai pihak,” tambah Yon.

Perlu digarisbawahi, dalam proses pembelajaran dari waktu ke waktu, penting untuk melakukan evaluasi yang berkelanjutan. Cerita di Balik Reformasi Perpajakan 363 Oleh karena itu, DJP banyak melakukan perubahan aturan yang menunjukkan proses dinamisasi sesuai perkembangan ekonomi.

Menurut Yon, jika merasa bisa dilakukan, ya akan dilakukan, yang penting tidak merusak sistem yang sudah dibangun. “Prinsipnya, administrasi harus sederhana,” tegasnya.

Beruntung DJP dikawal Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Proses yang dikerjakan terburuburu seperti ini dan dengan segala ketidakpastian rentan dalam tata kelola. “Yang paling penting adalah tata kelolanya jangan pernah meleset,” pungkas Yon.

Ada yang Bertahan, Ada yang Jatuh

Hasil dari survei menunjukkan 58% responden atau 6 dari 10 pelaku usaha telah memanfaatkan stimulus pajak dan dari dua pertiganya atau 66% merasa bahwa manfaat keuangan adalah manfaat terbesar. Hampir setengah dari yang sudah memanfaatkan juga mengungkapkan tidak menemukan kendala dalam memanfaatkan stimulus.

Memang memanfaatkan insentif ini terbilang mudah. Jika sudah memenuhi persyaratan bisa memanfaatkan dan tinggal melaporkan pemanfaatan tersebut melalui kanal e-Reporting yang disediakan DJP. Meski demikian, masih ada juga masyarakat yang memberikan komentar negatif. “Dalam masa pandemi belum selesai, insentif pajak gak akan maksimal,” ucap Yon menirukan salah satu respons negatif yang diterima. Bukan tanpa alasan mereka bilang begitu. Pada masa pandemi, intensitas perekonomian memang berkurang. Insentif yang dianggarkan Rp120 triliun pun baru terealisasi 50%- nya yaitu sekitar Rp60 triliun.

Jika melihatnya seperti itu, memang tidak akan terlihat signifikan. Di masa pandemi ini, ada sektor yang naik omzetnya, ada yang bertahan, dan ada yang jatuh. Yang terakhir inilah yang perlu dibantu, kalau industri tersebut sampai mati, maka dampaknya 364 Cerita di Balik Reformasi Perpajakan akan luas, seperti PHK. Maka dari itu, penting untuk melihat suatu persoalan secara mendalam.

“Pemanfaat PPh (Pasal) 21 saja ada 132 ribu, bayangkan berapa jumlah karyawan yang terbantu. Masih ada lagi, di sektor UMKM, terdapat 233 ribu yang menerima manfaat. Sebanyak 132 ribu perusahaan yang menikmati insentif PPh (Pasal) 21 DTP itu, ada sekitar dua sampai tiga juta karyawan yang terbantu. Jumlah tersebut tidak bisa dibilang kecil,” tambah Yon.

Dari situlah DJP paham betul bahwa masih banyak yang memang membutuhkan. “Oleh karena itu, di 2021 insentif ini kita teruskan. Karena saat ini ekonomi sedang naik. Banyak masukan dari berbagai pihak. Insentif fiskal ini untuk menstimulasi, untuk membantu cash flow perusahan, meskipun tidak membebaskan pajaknya,” tutur Yon.

***

Tulisan ini merupakan opini penulis dan pernah diterbitkan di buku berjudul "Cerita di Balik Reformasi Perpajakan".


Comments

Popular Posts